Aktivis Sebut RUU Masyarakat Adat Terancam Diabaikan Pemerintah

Perwakilan masyarakat adat hadir dalam Pembukaan Rembuk Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk Keadilan Sosial dan GLF 2018 di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 20 September 2018. GLF merupakan forum pertanahan global terbesar di dunia, yang akan digelar di Bandung pada 24-27 September 2018. TEMPO/Subekti
Perwakilan masyarakat adat hadir dalam Pembukaan Rembuk Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk Keadilan Sosial dan GLF 2018 di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 20 September 2018. GLF merupakan forum pertanahan global terbesar di dunia, yang akan digelar di Bandung pada 24-27 September 2018. TEMPO/Subekti

TEMPO.COJakarta – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengatakan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat kembali terancam diabaikan oleh pemerintah. Menurut mereka sudah sejak 2013, pengesahaan RUU Masyarakat Adat ini masih terus terombang-ambing.

“Menjelang Pemilu 17 April 2019, menjadi momentum politik yang mendebarkan bagi Masyarakat Adat. Karena momentum ini menjadi penanda kuat bahwa RUU Masyarakat Adat sekali lagi diabaikan oleh pemerintah,” ujar mereka dalam keterangan tertulis, Ahad, 10 Februari 2019.

Akhir November 2013, kata mereka, RUU Masyarakat Aadat telah menjadi agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada 2014 Parlemen membentuk Panitia Khusus untuk membahas RUU tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu menunjuk Kementerian Kehutanan sebagai koordinator perwakilan pemerintah dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat dengan parlemen. Namun akhirnya masa pemerintahan SBY akhirnya gagal mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

Rezim selanjutnya, Joko Widodo atau Jokowi – Jusuf Kalla (JK) sejak Pemilu 2014 menyatakan komitmen politiknya kepada Masyarakat Adat. Komitmen ini bahkan tertuang dalam Nawacita. Salah satunya adalah mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat.

Namun RUU Masyarakat Adat diketahui tidak masuk dalam Prolegnas tahun 2015 dan 2016. Hingga RUU Masyarakat Adat disepakati sebagai RUU Inisiatif DPR dalam sidang Paripurna DPR Februari 2018. Pada bulan yang sama, Ketua DPR mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi. Jokowi merespon dengan menerbitkan Surat Presiden yang menugaskan enam kementerian untuk Menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Masyarakat Adat.

Dari kerangka waktu, DIM RUU Masyarakat Adat sudah harus diserahkan kepada DPR dalam kurun waktu 60 hari, terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima presiden. Namun menurut Koalisi, pemerintah malah melakukan penundaan demi penundaan tanpa kejelasan. Hingga saat ini, kata mereka, DIM tersebut belum juga diserahkan oleh pemerintah pada DPR.

“Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat telah melakukan beragam audiensi ke pemerintah terkait DIM RUU Masyarakat Adat. Kami malah mendapatkan ketidakjelasan. Kami seperti diping-pong dari kementerian ke kementerian lainnya,” ujar salah seorang anggota Koalisi, Dahniar Andriani.

Koalisi mengatakan Masyarakat Adat di Indonesia masih berada di dalam pusaran dan menjadi korban konflik sumberdaya alam dan agraria. Menurut data Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) pada tahun 2018 saja telah terjadi sekurangnya 326 konflik sumberdaya alam dan agraria di Indonesia. Ratusan konflik tersebut melibatkan areal lahan seluas 2,1 juta hektar dengan korban 186,631 jiwa. Sebanyak 176,637 jiwa di antaranya adalah korban dari masyarakat adat.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan yang nyata atas situasi Masyarakat Adat. Dengan cara mewujudkan komitmen dan segera mensahkan RUU Masyarakat Adat ini.

“RUU Masyarakat Adat bukanlah alat dagang politik. Undang-Undang Masyarakat Adat dibutuhkan Bangsa Indonesia karena merupakan mandat konstitusi UUD 1945,” ucap dia.

Selengkapnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *