Masyarakat adat akan kembali merayakan hari internasional masyarakat adat yang diperingati tiap tanggal 9 Agustus. Hari internasional masyarakat adat sendiri adalah perayaan tentang adopsi Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP) oleh Sidang Umum PBB.
UNDRIP memuat jaminan hak dan kebebasan dasar masyarakat adat, untuk dihormati dan dilindungi oleh Negara sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Semangat UNDRIP sendiri selaras dengan konstitusi kita, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 b ayat 2, Pasal 28 I dan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Salah satu masalah yang masih dihadapi masyarakat adat dalam konteks pengakuan dan perlindungan hak ini adalah belum adanya kerangka hukum yang kuat untuk menjalankan pengakuan dan perlindungan hak.
Kerangka Hukum
Kerangka hukum kita masih mempersyaratkan pengakuan masyarakat adat melalui penetapan oleh produk hukum daerah. Penetapan masyarakat adat tersebut merupakan bentuk pendelegasian fungsi negara kepada Pemerintah Daerah akibat belum adanya undang-undang khusus masyarakat adat (baca: RUU perlindungan hak masyarakat adat).
Maria SW Sumardjono (2018) menyebutkan bahwa sektoralisme dan tak koherennya istilah dan kriteria (syarat) keberadaan masyarakat adat, dilihat dari dua hal; Pertama, istilah yang digunakan. UU sektoral umumnya menggunakan istilah Masyarakat Hukum Adat, tetapi UU Penataan Ruang menggunakan istilah masyarakat adat (MA); bahkan, UU Minyak dan Gas Bumi menggunakan dua istilah tersebut.
Kedua, perbedaan dalam persyaratan pengakuan Masyarakat Hukum Adat berpotensi pengakuan pada satu sektor bisa jadi tak akan diakui pada sektor-sektor lain. Ketiga, terjadinya perbedaan dalam perlindungan wilayah adat.
Masalah Penetapan
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa skema huku
m tentang penetapan masyarakat adat masih melalui produk hukum daerah. Situasi ini, mau tak mau akan bersentuhan dengan proses politik di daerah. Penetapan masyarakat adat melalui mekanisme ini sangat memberatkan komunitas-komunitas masyarakat adat minoritas karena posisinya yang marjinal secara politik.
Selain itu, skema hukum tentang penetapan masyarakat adat oleh produk hukum daerah ini tak mewajibkan adanya persetujuan masyarakat adat, untuk menerima atau menolak substansi norma yang mengatur mereka. Dalam konteks ini, maka secara substansi dan proses penetapan sangat bertumpu pada Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui proses-proses politik yang ada.
Untuk itu, perlu kiranya merancang alternatif mekanisme penetapan masyarakat adat yang tak bertumpu pada proses politik di daerah, dengan memuat prosedur yang affirmatif dan inklusif, terutama bagi masyarakat adat minoritas.
Arah Perlindungan
Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya te
ntang konstitusionalitas masyarakat adat telah menyebutkan lima unsur keberadaan masyarakat adat (actual existence). Lima unsur ini tidak bersifat kumulatif, namun sebagai indikator penunjuk saja atas keberadaan masyarakat adat, baik yang bersifat fungsional, geneologis maupun teritorial.
Artinya, kriteria-kriteria ketat keberadaan masyarakat adat sebagai prasyarat pengakuan masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan sektoral perlu dikaji ulang untuk menghindari terjadinya pembatasan hak.
Untuk itu, setidaknya terdapat empat langkah pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, baik itu secara substansi pengaturan, mapun tata kelola perlindungan hak masyarakat adat, yaitu sebagai berikut: pertama, Presiden dan DPR RI perlu mempercepat pengesahan RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang berfungsi sebagai undang-undang yang utuh dan terpadu dalam satu UU khusus (lex generalis).
Kedua, Presiden Republik Indonesia perlu melahirkan satu Lembaga adhoc di bawah presiden yang berfungsi mengintegrasikan urusan pemenuhan hak masyarakat adat lintas sektor (kementerian).
Keempat, Lima kementerian-kementerian utama yang mengurus hak masyarakat adat, yaitu (1) Kementerian Dalam Negeri, (2) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, (3) Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN, (4) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (5) Kementerian Perikanan dan Kelautan, melahirkan program-program pemberdayaan masyarakat adat berbasis hak.