Jakarta, Gatra.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) meminta pemerintah tidak mengutak-atik kehidupan masyarakat adat. Salah satunya dengan memaksakan masyarakat adat membentuk panitia masyarakat hukum adat.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA Susan Herawati Romica dalam Focus Group Discussion (FDG) bersama Forum Masyarakat Adat Pesisir Indonesia merespon Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat.
“Masyarakat adat ini sudah ada sebelum negara merdeka, jangan dibolak-balik,” ujar Susan di Sekretariat Nasional KIARA, kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (4/4).
KIARA balik mempertanyakan perlindungan masyarakat adat dalam RUU tersebut. Sejauh ini tidak ada pasal-pasal yang mengatur itu.
Susan menambahkan negara tidak seharusnya mengatur serta mengintervensi ranah privat masyarakat adat. RUU ini juga bertentangan dengan UU lain sehingga menimbulkan banyak konflik di masa yang akan datang.
“Negara tidak usah ganggu mereka, cukup berikan perlindungan dari negara. Itu yang baik. Jangan yang substansi gak diurus, yang remeh-temen malah diurus,” lanjutnya.
Pakar Politik Agraria, Gender, dan Hukum Adat Maria Rita Roewiastuti, RUU Masyarakat Adat sama sekali tidak memihak dan tidak melindungi masyarakat adat.
“Kita tidak usah ribut-ribut soal RUU ini, memang dari awal UU tidak akan bisa memihak kemana pun. Tinggal ditanya saja, RUU ini bertujuan apa? Apakah melindungi masyarakat adat? Kalau tidak, siapa dan golongan mana yang diuntungkan dari pembuatan RUU ini?” ujar Maria.
RUU Masyarakat Hukum Adat beberapa kali gagal disahkan meski sudah dibahas selama dua periode pemerintahan, di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo.
RUU ini pertama kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) DPR RI pada 2013. Kemudian RUU Masyarakat Hukum Adat kembali masuk prolegnas pada 2014 dengan status luncuran. Tahun ini RUU tersebut kembali masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019.